Minggu, 17 April 2016

Awan Hitam

Kelam dan sepi, itulah yang kurasakan. Kini aku sendirian, tangisku mememecah kesunyian yang mencekam. Bilur yang kurasakan semakin merambah kebahagiaanku tatkala aku menyadari bahwa kini diriku bercungkupkan gundukan tanah merah. Tubuhku yang terbalut kain kafan berbaring di dalam tanah dengan atap kayu yang miring. Kembang tujuh rupa yang berserakan di atasnya kini sudah layu dan kusam seperti diriku. Semerbak wangi dupa mengiringi langkahku yang entah ingin pergi kemana.
Aku adalah anak yang durhaka. Ingin rasanya aku meminta maaf pada kedua orang tuaku. Namun tak bisa, ragaku telah terpisah dengan ruhnya. Kini aku hanyalah arwah gentayangan yang merindukan pelukan hangat dari keluargaku.
    Kubiarkan langkahku ini berjalan seperti air yang mengalir di sungai. Langit sore ini ditutupi awan-awan hitam. Sama hitamnya seperti hidupku dulu. Tak berapa lama, hujanpun turun dengan deras. Aku melihat orang-orang yang berada di sekitarku berlari terbirit-birit menghindari hujan. Aku hanya tersenyum getir melihatnya, andai saja aku masih seperti mereka.
Hujan sore ini membuatku mengingat kembali masa hidupku. Semasa hidupku, aku adalah seorang gadis muda yang ceria. Aku memiliki banyak teman, aku juga memiliki keluarga yang menyayangiku sepenuh hati. Ayah, Ibu, dan kaka lelakiku, mereka selalu ada untukku. Aku merasa bahagia dengan kehidupanku dulu. Namun semuanya berubah ketika aku menjalin kasih dengan seorang lelaki. Dia adalah kaka kelasku, Dion. Menurutku Dion adalah anak yang baik. Ia juga terlihat sangat bertanggung jawab.
    Namun hubunganku dengan Dion tak direstui oleh keluargaku. Terutama oleh kakakku. Entah apa yang menjadi alasan mereka tak menyukai Dion. Kakakku hanya berkata bahwa Dion tak baik dan tak pantas untukku.  Sudah beberapa kali ku yakinkan mereka bahwa Dion adalah anak yang baik, namun tetap saja mereka tak mau mendengarku. Masalah ini terus berlanjut sehingga menjadi pertentangan yang besar dalam keluargaku. Karena hal ini juga aku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku jarang pulang ke rumah, sekolahku terbengkalai, dan masih banyak lagi perubahan yang terjadi dalam hidupku.
    Masalah ini semakin memuncak ketika aku hamil. Ya, aku melakukan hal bejat itu bersama Dion. Aku diusir dari rumah, ayah marah besar padaku, begitu juga dengan kakakku. Sedangkan ibu, ibu hanya menangisi perbuatanku. Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari lisannya. Awalnya aku berpikir Dion akan bertanggung jawab, namun aku salah. Dion pergi meninggalkanku, ia dan keluarganya pindah ke luar kota.
Hidupku semakin hancur. Aku tinggal sendirian di jalanan seperti gelandangan. Dengan perut yang semakin membesar, aku berjalan seorang diri. Meminta belas kasihan dari orang lain. Aku lelah, sampai-sampai aku berdoa kepada Tuhan untuk mencabut saja nyawaku, dan Tuhanpun menjawab doaku.
    Malam itu turun hujan, aku duduk di halte bus untuk mengistirahatkan tubuhku. Sambil kedinginan, aku duduk termenung disana. Tak berapa lama datanglah segerombolan pria dengan keadaan mabuk. Mereka meminta uang dariku, namun tak kuberikan karena aku membutuhkan uang itu. Akhirnya, salah seorang dari mereka memukul kepalaku dengan batu. Aku ambruk di atas trotoar yang basah, lalu tiba-tiba aku merasakan sebilah pisau yang dingin menancap di perutku. Darah berceceran, menyatu dengan air hujan malam itu. Aku tak sadarkan diri, hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku telah meninggal dunia.
    Disinilah aku sekarang, berdiri di depan rumahku dengan rasa penyesalan dan rindu yang tak tertahankan. Memandang ibuku yang sedang duduk termenung  sambil memeluk potret diriku. Sedih rasanya saat kehadiranku tak disadari oleh ibu karena kini kita sudah berbeda alam. Oh Tuhan, aku merindukan pelukan ibuku. Apakah ini balasan dari-Mu untukku?
“ Ibu merindukanmu Laras “
Bilur dalam hatiku semakin menyakitkan ketika aku mendengar ucapan lirih dari ibuku.
    Bu, maafkan aku karena tak bisa membuat ibu bahagia. Maafkan aku karena aku telah menjadi anak gadis ibu satu-satunya yang gagal menjalani hidup. Aku menyesal bu, sungguh sangat menyesal. Aku mohon, jangan tangisi lagi kepergianku bu. Ikhlaskan diriku agar aku bisa pergi dengan tenang. Aku akan selalu merindukanmu ibu..
   
Selama perjalanan hidupku ini, aku baru menyadari bahwa keluarga adalah segalanya. Keluargalah yang menerima kita apa adanya. Jangan pernah sia-siakan kasih sayang dari mereka. Cintai mereka, sayangi mereka, maka kalian akan hidup bahagia. Jangan sampai kalian merasakan penyesalan dan rindu yang kurasakan. Jadikanlah kisahku ini sebagai pembelajaran hidup bagi kalian semua..


Zulfikar Alamsyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar