Minggu, 17 April 2016

Abdoellah

Namaku Abdoellah, pemuda yatim dari Mengkasar yang nekat merantau ke negeri orang dan meninggalkan amakya di kampung sendirian. Gejolak jiwa mudaku yang ingin merantau terus meronta yang akhirnya membuat diriku terjauh dari amakku. Awalnya sulit bagiku untuk meninggalkan amak. Namun karena jiwa muda yang menggebu akhirnya aku bisa melepaskannya.
Aku merantau ke negeri Minang, negeri yang subur, negeri dengan adat istiadat yang kental. Disana aku tinggal bersama mak etekku, Fatimah. Dia adik dari amakku.
    Ketika di Minang, aku mempelajari ilmu agama bersama mamak Aziz, seorang lelaki paruh baya yang berperan penting di dusun tempat mak etekku tinggal. Setiap sore, aku pergi ke surau. Bersembahyang, lalu belajar ilmu agama bersama mamak Aziz hingga larut malam. Selama perantauanku di Minang, aku memakan banyak asam garam kehidupan. Para pemuda Minang menjauhiku, mereka menganggap bahwa aku adalah anak buangan. Mereka juga selalu menggunjingkan amakku karena menikah dengan pria bugis yang sampai saat ini kupanggil dengan sebutan ayah.
Aku selalu bersabar. Kubiarkan gunjingan itu masuk di telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
    Perantauanku di negeri Minangkabau tak semuanya buruk, aku menemukan cinta pertamaku disana. Namanya Aminah, parasnya sangat rupawan. Bagaikan bulan dipagar bintang. Ia memiliki budi pekerti yang baik pula. Kami berdua sering bercakap-cakap ketika pulang dari surau, dan hal ini lama kelamaan membuat kami saling mencintai
Kedekatanku dengan Aminah tersebar di seluruh dusun. Hingga kabar ini akhirnya sampai di telinga mamak Aziz. Hubungan kami tak direstui oleh mamak Aziz dengan alasan karena aku bukanlah pemuda asli tanah Minang. Saat itu hatiku bagaikan kaca terhempas batu. Selain tak di restui, aku juga diperintahkan untuk segera pergi dari tanah Minangkabau. Dengan kata lain, aku telah diusir.
    Pergilah aku kembali ke tanah kelahiranku. Aku rindu amakku, aku ingin memeluk tubuhnya, mencium keningnya, membasuh kakinya sambil meminta maaf karena sudah menelantarkannya seorang diri. Aku tiba di dusun tempat rumahku berada ketika langit berwarna jingga. Aku berdiri cukup lama, memandang rumahku sambil membayangkan amakku yang mungkin kini sedang di dapur. Menyalakan kompor dan menanak nasi untuk makan. Namun ketika aku melangkah untuk masuk rumah. Seseorang memanggil namaku. Dari kejauhan, aku melihat mak Haidar berlari menghampiriku.
“ Abdullah, kemana saja kau? Tak pernah memberi kabar pada amakmu “
“ Aku baru saja merantau dari tanah Minang mak, aku tak bisa menuliskan surat untuk amakku karena disana aku disibukkan dengan belajar ilmu agama “
“ Keterlaluan kau Abdullah, kau tahu? Beberpa bulan yang lalu amakmu sakit keras dan sekarang ia sudah tiada “
Tercenganglah diriku mendapat kabar duka itu. Amakku meninggal ketika aku merantau. Pada saat itulah penyesalan mulai datang bertubi-tubi.
    Semenjak saat itu, aku menutup diri dari dunia luar. Aku hanya duduk termenung di kamarku. Membayangkan keadaan amakku yang kala itu hanya sendiri dan sedang sakit. Semenjak saat itu pula, jiwa mudaku seolah padam. Semangat hidupku menghilang. Ku siksa diriku sendiri dengan tak makan, bahkan aku juga meninggalkan kewajibanku untuk sembahyang.
    Hingga pada suatu hari, aku dikunjungi oleh teman lamaku Dahlan. Ia prihatin melihat keadaanku. Ia memberikanku nasihat. Dari sekian banyaknya wejangan yang ia berikan, ada kalimat yang menempel dalam pikiranku.‘Kau masih muda Dullah, jangan sia-siakan masa mudamu dengan melakukan hal yang seperti ini.’ katanya.
Aku memikirkan kalimat yang terlontar dari lisan Dahlan. Aku menyadari kesalahanku setelah itu. Ku gelarkan kembali sajadah dan bersembahyang pada tuhanku untuk meminta ampunan.
    Berkat nasihat yang Dahlan berikan padaku, jiwa mudaku kembali bangkit. Aku ingin memperbaiki diri. Ku mulai dengan mengarang hikayat-hikayat dan ku kirimkan ke media cetak. Setiap hari, aku duduk di meja peninggalan amakku untuk menulis hikayat-hikayat yang akan ku kirimkan ke media cetak. Dari sana aku mendapatkan wang.
    Hikayatku semakin dikenal banyak orang. Namaku juga banyak dibicarakan orang-orang. Hingga pada suatu hari, aku mendapatkan surat dari Batavia. Surat itu berisikan tentang penawaran untukku menjadi penulis disana. Tawaran itu kuterima dengan senang. Aku pergi ke Batavia dan tinggal disana sebagai seorang penulis, dan dari sanalah aku mulai menemukan kembali jati diriku. Aku kembali menjadi Abdoellah dengan semangat jiwa mudaku.
Satu hal yang dapat kusimpulkan, jangan pernah isi masa mudamu dengan hal yang sia-sia. Karena hal yang sia-sia tak akan memberikan manfaat apapun kecuali penyesalan. Isi masa mudamu dengan berkarya, karena dengan berkarya masa mudamu akan lebih berwarna dan berharga.


10 Nov.2015

Zulfikar Alamsyah

Awan Hitam

Kelam dan sepi, itulah yang kurasakan. Kini aku sendirian, tangisku mememecah kesunyian yang mencekam. Bilur yang kurasakan semakin merambah kebahagiaanku tatkala aku menyadari bahwa kini diriku bercungkupkan gundukan tanah merah. Tubuhku yang terbalut kain kafan berbaring di dalam tanah dengan atap kayu yang miring. Kembang tujuh rupa yang berserakan di atasnya kini sudah layu dan kusam seperti diriku. Semerbak wangi dupa mengiringi langkahku yang entah ingin pergi kemana.
Aku adalah anak yang durhaka. Ingin rasanya aku meminta maaf pada kedua orang tuaku. Namun tak bisa, ragaku telah terpisah dengan ruhnya. Kini aku hanyalah arwah gentayangan yang merindukan pelukan hangat dari keluargaku.
    Kubiarkan langkahku ini berjalan seperti air yang mengalir di sungai. Langit sore ini ditutupi awan-awan hitam. Sama hitamnya seperti hidupku dulu. Tak berapa lama, hujanpun turun dengan deras. Aku melihat orang-orang yang berada di sekitarku berlari terbirit-birit menghindari hujan. Aku hanya tersenyum getir melihatnya, andai saja aku masih seperti mereka.
Hujan sore ini membuatku mengingat kembali masa hidupku. Semasa hidupku, aku adalah seorang gadis muda yang ceria. Aku memiliki banyak teman, aku juga memiliki keluarga yang menyayangiku sepenuh hati. Ayah, Ibu, dan kaka lelakiku, mereka selalu ada untukku. Aku merasa bahagia dengan kehidupanku dulu. Namun semuanya berubah ketika aku menjalin kasih dengan seorang lelaki. Dia adalah kaka kelasku, Dion. Menurutku Dion adalah anak yang baik. Ia juga terlihat sangat bertanggung jawab.
    Namun hubunganku dengan Dion tak direstui oleh keluargaku. Terutama oleh kakakku. Entah apa yang menjadi alasan mereka tak menyukai Dion. Kakakku hanya berkata bahwa Dion tak baik dan tak pantas untukku.  Sudah beberapa kali ku yakinkan mereka bahwa Dion adalah anak yang baik, namun tetap saja mereka tak mau mendengarku. Masalah ini terus berlanjut sehingga menjadi pertentangan yang besar dalam keluargaku. Karena hal ini juga aku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku jarang pulang ke rumah, sekolahku terbengkalai, dan masih banyak lagi perubahan yang terjadi dalam hidupku.
    Masalah ini semakin memuncak ketika aku hamil. Ya, aku melakukan hal bejat itu bersama Dion. Aku diusir dari rumah, ayah marah besar padaku, begitu juga dengan kakakku. Sedangkan ibu, ibu hanya menangisi perbuatanku. Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari lisannya. Awalnya aku berpikir Dion akan bertanggung jawab, namun aku salah. Dion pergi meninggalkanku, ia dan keluarganya pindah ke luar kota.
Hidupku semakin hancur. Aku tinggal sendirian di jalanan seperti gelandangan. Dengan perut yang semakin membesar, aku berjalan seorang diri. Meminta belas kasihan dari orang lain. Aku lelah, sampai-sampai aku berdoa kepada Tuhan untuk mencabut saja nyawaku, dan Tuhanpun menjawab doaku.
    Malam itu turun hujan, aku duduk di halte bus untuk mengistirahatkan tubuhku. Sambil kedinginan, aku duduk termenung disana. Tak berapa lama datanglah segerombolan pria dengan keadaan mabuk. Mereka meminta uang dariku, namun tak kuberikan karena aku membutuhkan uang itu. Akhirnya, salah seorang dari mereka memukul kepalaku dengan batu. Aku ambruk di atas trotoar yang basah, lalu tiba-tiba aku merasakan sebilah pisau yang dingin menancap di perutku. Darah berceceran, menyatu dengan air hujan malam itu. Aku tak sadarkan diri, hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku telah meninggal dunia.
    Disinilah aku sekarang, berdiri di depan rumahku dengan rasa penyesalan dan rindu yang tak tertahankan. Memandang ibuku yang sedang duduk termenung  sambil memeluk potret diriku. Sedih rasanya saat kehadiranku tak disadari oleh ibu karena kini kita sudah berbeda alam. Oh Tuhan, aku merindukan pelukan ibuku. Apakah ini balasan dari-Mu untukku?
“ Ibu merindukanmu Laras “
Bilur dalam hatiku semakin menyakitkan ketika aku mendengar ucapan lirih dari ibuku.
    Bu, maafkan aku karena tak bisa membuat ibu bahagia. Maafkan aku karena aku telah menjadi anak gadis ibu satu-satunya yang gagal menjalani hidup. Aku menyesal bu, sungguh sangat menyesal. Aku mohon, jangan tangisi lagi kepergianku bu. Ikhlaskan diriku agar aku bisa pergi dengan tenang. Aku akan selalu merindukanmu ibu..
   
Selama perjalanan hidupku ini, aku baru menyadari bahwa keluarga adalah segalanya. Keluargalah yang menerima kita apa adanya. Jangan pernah sia-siakan kasih sayang dari mereka. Cintai mereka, sayangi mereka, maka kalian akan hidup bahagia. Jangan sampai kalian merasakan penyesalan dan rindu yang kurasakan. Jadikanlah kisahku ini sebagai pembelajaran hidup bagi kalian semua..


Zulfikar Alamsyah